Rabu, 29 Oktober 2008

FITRAH pada WANITA dan LAKI-LAKI

Sesungguhnya hukum kehidupan telah menentukan masing-masing kekhususan bagi pria dan wanita. Perbedaan spesifik itu dapat dilihat pada jasmani, jiwa, dan akal antara keduanya.

Pada wanita, fisik atau jasmaninya mengalami kondisi-kondisi tertentu karena tipe-tipenya yang tertentu. Ia bisa mengalami haid, karena anatomi yang dimilikinya. Jiwanya begitu peka terhadap gejolak, tiba-tiba saja selera makannya hilang hanya karena suatu kesedihan kecil; tiba-tiba saja perutnya mual, kepalanya pusing, perasaan dan fikirannya tercekam, sekedar berbentur dengan problem yang remeh.

Hanya wanita pula yang bisa mengandung. Tiga bulan pertama badannya lemah, wajahnya pucat dan jantungnya mudah berdebar-debar. Pada akhir kehamilannya, di sana-sini badannya terasa sakit. Kadang-kadang kedua kakinya membengkak. Benarlah gambaran dari Allah,

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
(Al-Qur’an Al-Karim Surah Luqman [31] : ayat 14)

Kemudian datanglah masa kelahiran jabang bayi. Ia pun mengalami masa nifas lebih kurang 40 hingga 60 hari. Oleh karena itu, kita dapat menyebut wanita sebagai pahlawan yang harus berjuang seorang diri untuk melahirkan putra-putrinya dengan taruhan darah dan nyawa.
Datang pula waktu menyusui yang memakan waktu dua tahun. Kadang-kadang ia kurang tidur untuk mengurusi dan menyusui bayinya. Apalagi bila bila si bayi sakit. Duhai betapa sibuk dan bingungnya.
Pendek kata, wanita memang berbeda dengan laki-laki, baik secara fisik luar maupun dalamnya. Karena hormon-hormon tertentu, wanita nampak lebih halus, lembut dan lemah. Sebaliknya, pria lebih tegas, kasar, dan tegap.

Cinta, harapan, rasa dan malu juga lebih mendalam pada wanita daripada lelaki. Sifat-sifat itu muncul bukan dari tuntutan adat-istiadat dan tekanan lingkungan, tetapi memang fitrahnya demikian.

Keadaan jasmani dan jiwa yang serba lembut, lemah, dan penuh perasaan membuat kecenderungannya juga berbeda dengan laki-laki. Wanita lebih emosional dalam menghadapi sesuatu, tetapi laki-laki lebih rasional. Wanita lebih sering ngeri ketika melihat peristiwa-peristiwa celaka dan sadisme, misalnya kecelakaan, pembunuhan dan sebagainya. Akan tetapi, pria lebih sigap dan tanggap.

Itulah sebabnya, dalam kesaksian untuk pria cukup satu orang tetapi bagi wanita perlu dua orang. Alasannya, kadang-kadang wanita lebih mendahulukan emosi dan perasaannya daripada akalnya, dan kadang-kadang pula menjadi pelupa disebabkan melihat keadian yang mencekam jiwanya. Al-Qur’an menetapkan :

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
(Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Baqarah [2] : ayat 282)

Apakah hikmah di balik dua perbedaan tersebut? Ialah agar masing-masing berjalan di atas fitrahnya sendiri dalam mengemban tugas yang telah ditetapkan Allah ‘Azza wa Jalla.

Laki-laki yang lebih kuat, keinginannya lebih pasti dan lebih rasional. Dia akan mengarah pada jenis-jenis pekerjaan yang menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dialah yang harus mengembara di atas bumi, berjuang sungguh-sungguh demi keluarga; dialah yang diwajibkan untuk memanggul senjata jihad, mengurusi pemerintahan, kehakiman, dan sebagainya.

Sedangkan wanita yang lebih lemah dan kental perasaannya memiliki tugas-tugas fisik yang lebih ringan pula, yaitu mengatur rumah tangga, tetapi mendapatkan amanah untuk mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya. Dan dengan kecenderungan yang ingin mencintai, ia harus melaksanakan hak-hak suaminya. Itulah pekerjaan-pekerjaan yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan jalur bagi masing-masing, di mana mereka harus menempatkan diri. Di dalam Surah An-Nisa’ disebutkan : 

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah 
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, 
dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. 
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(Al-Qur’an Al-Karim Surah An-Nisa’ [4] : ayat 32)

Kebanyakan wanita-wanita karier, wanita-wanita profesi, artis (seniwati) dan lain-lain, di negara-negara berfaham kebebasan mengeluh tentang kekosongan dirinya. Mereka mengungkap itu dalam media-media massa, atau dalam biografi yang ditulisnya sendiri. Sebenarnya hati kecilnya merindukan sebagai ibu dan istri yang baik.

Lalu bagaimana bila masalahnya adalah karena kebutuhan yang mendesak? Suaminya gajinya tidak mencukupi sehingga perlu dibantu oleh istri?


Islam dalam hal ini bersikap luwes, elastis. Islam memperbolehkan kaum ibu bekerja dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pekerjaan untuk wanita haruslah diselaraskan dengan sifat-sifatnya sebagai wanita, misalnya: menjahit, merenda, membordir, juru rawat, mengedit, menerjemahkan dan sebagainya.
b. Senantiasa berpegang teguh dan konsisten memegang adab dan akhlak Islam. Ia harus berpakaian sopan, memakai hijab (jilbab) dan tidak satu ruangan bercampur baur dengan laki-laki.
c. Tidak boleh memegang pekerjaan yang memberatkan fisiknya.

Ketentuan di atas sebenarnya merupakan rambu-rambu penyelamatan bagi wanita. Kalau dilanggar akan mendatangkan bahaya-bahaya kehidupan yang menjerumuskan akhlaknya menjadi rusak. Bahaya-bahaya itu antara lain:
a. Bila wanita bekerja dengan motivasi semata-mata untuk kesenangan dirinya, akan menimbulkan gejala banyaknya pengangguran di kalangan laki-laki, sebab pekerjaan yang yang seharusnya disediakan bagi kaum laki-laki tersebut telah direbut oleh kaum wanita.
b. Tersebarnya demoralisasi di dalam masyarakat, karena tidak terjadi ketidakseimbangan tugas dan kewajiban sebagaiman digariskan Islam.
c. Terjadinya ketidakharmonisan keluargam karena satu sama lain tidak menempati posisinya masing-masing.

Agama Islam lebih jeli melihat hikmah kehidupan. Ibu yang bekerja di luar, akan menelantarkan anak-anaknya dari perhatian, kasih sayang dan pendidikan moral. Apalagi jika ayahnya juga sibuk mengejar jenjang karier. Rumah benar-benar akan menjadi lengang selengang dan sekosong jiwa anak-anaknya lalu anak-anak akan tak terurus, dan menjadi berandal karena tanpa arahan dari orang tua.

Seorang penyair pernah menyindir:

Bukanlah daku ini yatim
karena orang tua tiada, pergi dari dunia
meninggalkan kami papa

tetapi yatim itu
karena bunda tiada pernah berdiam di rumah
ayah pun sibuk bekerja

dr
Terapi Islam terhadap Rintangan Menjelang Perkawinan oleh Abdullah Nasih ‘Ulwan,

" SETIAP LANGKAH ADALAH ANUGERAH "


Seorang professor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Di sana , ia berjumpa dengan seorang prajurit yang tak mungkin dilupakannya, Ralph, penjemputnya di bandara. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka menuju tempat pengambilan bagasi.

Ketika berjalan keluar, Ralph sering menghilang. Banyak hal dilakukannya. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka, kemudian mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat melihat sinterklas.

Ia juga menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Namun kemudian ia selalu kembali ke sisi sang professor dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

"Dari mana Anda belajar melakukan semua hal itu?" tanya sang professor.

"Melakukan apa?" tanya Ralph.

"Dari mana Anda belajar untuk hidup seperti itu?" desak sang professor.

"Oh", kata Ralph, "Selama perang... Saya kira, perang telah mengajari saya banyak hal."

Lalu ia menuturkan kisah perjalanan tugasnya di Vietnam . Juga tentang tugasnya saat membersihkan ladang ranjau dan bagaimana ia harus menyaksikan satu per satu temannya tewas terkena ledakan ranjau di depan matanya.

"Saya belajar untuk hidup di antara pijakan setiap langkah," katanya. "Saya tidak pernah tahu, apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir, sehingga saya belajar untuk melakukan segala sesuatu yang sanggup saya lakukan tatkala mengangkat dan memijakkan kaki serta mensyukuri langkah sebelumnya."

"Setiap langkah yang saya ayunkan merupakan sebuah dunia baru, dan saya kira sejak saat itulah saya menjalani kehidupan seperti ini. Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang bermakna bagi orang lain."

Nilai manusia tidak ditentukan dengan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup. Kekayaan manusia bukan apa yang ia peroleh, melainkan apa yang telah ia berikan. Selamat menikmati setiap langkah hidup Anda dan bersyukurlah setiap saat. Banyak orang berpikir bagaimana mengubah dunia ini. Hanya sedikit yang memikirkan bagaimana mengubah dirinya sendiri...
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Islamic Widget

Me

Kiss The Ra!n